Review – The World’s End (2013)
Dirilis hanya berselang satu bulan lebih cepat dengan This is the End-nya Seth Rogen, The World’s End punya kemiripan tema dengan kolega Hollywood-nya itu. Sama-sama bergenre komedi apokaliptik, sama-sama diisi oleh ensemble cast dan juga sama gila-gilaannya. The World’s End menandakan kembalinya trisula maut Inggris, Simon Pegg, Nick Frost dan sutradara Edgar Wright untuk menuntaskan trilogi yang mereka sebut sebagai “trilogi Cornetto tiga rasa” ini. FYI, Three Flavours Cornetto trilogy dimulai dengan Shaun of the Dead 2004 lalu yang menghadirkan komedi zombie apocalpyse yang luar biasa kocak, dilanjutkan Hot Fuzz (2007), komedi tentang polisi super yang dimutasi ke desa tanpa kriminalitas yang juga sukses dan diakhiri oleh The World’s End ini.
Lihat, untuk sebuah trilogi, rangkaian tiga film ini cukup unik karena
dari segi cerita ketiganya tidak menyambung satu sama lain kecuali
setiap filmnya mendapat adegan lompat pagar, tetap berada di jalur
komedi dan dua pemain utama serta sutradara yang sama. Jadi tidak perlu
heran jika mereka menyebutnya “Cornetto tiga rasa”.
Sebenarnya, jika kamu tidak tahu apa-apa soal The World’s End itu
lebih baik karena ia akan mengejutkanmu setelah setengah jam bergulir,
dan jika kamu sudah tahu mungkin kamu akan merasa tertipu karena
alih-alih berisi tentang akhir dunia, The World’s End di sini mengacu ke nama sebuah pub yang menjadi pemucak dari pub crawl
yang dilakukan oleh lima sahabat lama. Tema utamanya adalah tentang
reuni teman-teman lama dengan sentuhan Inggris kental yang melibatkan
minum-minum bir. mabuk dan pub. Ada Gary King (Simon Pegg), alkoholik 40 tahunan yang mengajak (baca: Memaksa) sahabat-sahabat masa kecilnya; Peter Page (Eddie Marsan), Oliver “O-Man” Chamberlain (Martin Freeman), Steven Prince (Paddy Considine), dan Andy Knightley (Nick Frost) untuk pulang kampung ke kota kecil Newton Haven guna mengulangi misi tur 12 pub yang belum sempat terselesaikan 20 tahun lalu.
Tidak ada indikasi sedikitpun tentang
kiamat atau apapun yang berhubungan dengan akhir dunia di sinopsinya
kan? Apa yang dilakukan The World’s End mengingatkan saya pada From Dusk Till Dawn-nya
QuentinTarantino 1996 lalu, di mana genrenya dengan cepat berubah
menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda di saat menginjak pertengahan
film, dan ini jelas menarik, memberikan penontonnya, terutama mereka
yang buta tentang The World’s End sebuah kejutan hebat yang
berawal dari toilet laki-laki. Ini seperti menonton dua genre dalam satu
film, komedi persahabatan yang diisi oleh reuni dan sisanya, petulangan
seru bertahan hidup dari kedatangan sesuatu yang jahat.
Sebagai bagian penutup dari sebuah trilogi, The Wordl’s End jelas diharapakan menjadi sebuah closure hebat
untuk dua film sebelumnya, dan ia memang berhasil menjadi sebuah akhir
yang bagus meskipun kualitasnya sedikit masih berada di bawah Shaun of the Dead yang punya tema serupa. Semuanya masih ada disini, Edgar Wright
masih menghadirkan nuasa kelam yang ceria lengkap dengan kota kecil dan
tentu saja pub yang menjadi saksi bisu seperti di tiga serinya.
Opening-nya seru, melihat dasar ceritanya diedit sekeren mungkin, visual
menyegarkan, membuat ekpektasi kita meninggi. Narasinya juga masih
ditulis keroyokan oleh Pegg, Frost dan Wright, masih menampilkan
kegilaan komedi Inggris dengan aksen-aksen mereka yang lucu yang tidak
pernah mengendur, tidak ketinggalan umpatan-umpatan kasar yang terdengar
lebih beradab ketimbang komedi kasar Amerika.
Separuh pertama filmnya punya tone ceria dan enerjik, seceria karakter bodoh yang dibawakan Simon Pegg sebagai mantan pemimpin “five musketeers”, alkoholik tanpa masa depan, remaja nakal yang terjebak dalam tubuh 40 tahunnya. Sementara
Nick Frost terlihat lebih serius kali ini sebagai Andy Knightley,
pengusaha sukses yang tobat minum-minun, yah, setidaknya sampai konflik
utamanya muncul sebelum akhirnya ia kembali menjadi Nick Frost dengan
segala kegilaannya. Dynamic duo ini ditemani oleh cast-cast terbaik Inggris untuk memeriahkan pesta penutup trilogi ‘es krim’ ini, sebut saja Eddie Marsan, Martin Freeman, Steven Prince, Paddy Considine, Bill Nighy, Pierce Brosnan dan untuk pemanisnya, si cantik Rosamund Pike.
Di separuhnya lagi kita diingatkan kalau The World’s End adalah komedi sci-fi
seperti yang sudah dijanjikan. Setelah adegan baku hantam di toilet,
tensinya melejit naik dan seperti tidak mau turun. Kejutan demi kejutan
mewarnai perjalanan keliling pub paling gila dekade ini dengan
melibatkan banyak gelas besar bir, perkelahian bar klasik dan hujan
darah-darah biru yang tidak pernah kamu lihat di film manapun. Tidak
ketinggalan Wright memberi banyak tribut kepada sci-fi klasik macam The Thing, The Stepford Wifes dan Invasion of Body Snatcher hingga nantinya diakhiri dengan ending yang seperti menjadi sebuah permulaan baru.
sumber : http://movienthusiast.com/2013/10/review-the-worlds-end-2013/
0 komentar:
Posting Komentar